Selasa, 15 Juni 2010

Nikah Sebagai Sunnah, Anjuran Nikah, Kriteria Memilih Istri, Larangan Nikah Mut`ah

PENDAHULUAN
Di era global sekarang ini, zaman yang penuh dengan fitnah sana-sini terlebih dikalangan para selebritis dalam pandangan perkawinan sering terdengar dengan istilah “bongkar pasang”, sudah puas yang satu ganti yang lain toch kalau dah mau bertobat gampang tinggal kumpul uang lanjutnya umroh atau lain sebagainya. Memandang nikah semacam ini tentulah sangat bertolak belakang dengan apa yang disyariatkan oleh Islam itu sendiri. Sedang dalam Islam, perkawinan/pernikahan merupakan suatu perjanjian suci. Ditinjau dari segi bahasa, “nikah berarti menghimpun, berkumpul dan menindih” (Studi Islam 2 UMS) sedangkan menurut istilah ialah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan perempuan (Sulaiman Rasyid, 1954 : 355). Selebihnya pada makalah ini membahas akan nikah merupakan suatu anjuran, nikah sebagai sunnah, kriteria dalam mencari istri, serta larangan nikah mut`ah.

PEMBAHASAN
A.    Anjuran Nikah[1]
884حديث عبد الله بن مسعود. عن علقمة, قال: كنت مع عبد الله فلقيه عثمان بمن, فقال: يا أب عبد الرحمن ! إن لى إليك حاجة, فحليا. فقال عثمان: هل لك يا أبا عبد الرمن فى أن نزوجك بكرا تذكرك ماكنت تعهد؟ فلم رأى عبد الله أن ليس له حاجة إل هذ, أشار إليّ, فقال: يا علقمة ! فانتهيت إليه وهو يقول: أما لئن قلت ذلك, لقد قال لنا النبي ص.م : ((يامعشر الشباب! من انستطاع منكم الباء فليتزوج, ومن لم يصتطع فعليه بالصوم فإنه له وجاءٌ))
أخرجه البخارى فى : 67 - كتاب النكاح : 2 – باب قول النبى ص.م من انتطاع منكم الباء فليتزوج.

“Al-Qamah berkata: ketika aku bersama Abdullah bin Mas`ud di Mina, tiba-tiba bertemu dengan Usman, lalu dipanggil: Ya Aba Abdirrahman, saya ada hajat padamu, lalu berbisik keduanya: Usman berkata: Ya Aba Abdirrahaman, sukakah anda saya kawinkan dengan gadis untuk mengingatkan kembali masa mudamu dahulu. Karena Abdullah bin Mas`ud tidak berhajat kawin maka menunjuk kepadaku dan dipanggil: Ya Alqamah, maka aku datang kepadanya, sedang ia berkata: Jika anda katakan begitu maka Nabi SAW bersabda kepada kami: Hai para pemuda siapa yang sanggup (dapat) memikul beban perkawinan maka hendaklah kawin, dan siapa yang tidak sanggup maka hendaknya berpuasa (menahan diri) maka itu untuk menahan syahwat dari dosa”. (Bukhari, Muslim)

B.     Nikah sebagai Sunnah[2]
885حديث أنس بن مالك, قال: جاء ثلاثة رهط الى بيوت أزواج النبي ص.م يسألون عن عباده النبي ص.م يسألون عن عبادة النبي ص.م, فلما أخبرواكأنهم تقالوها, فقالوا: وأين نهن من النبي  ص.م, قد غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر: قال أحدهم: أم أنا فإن أصلى الليل أبدا: وقال اخر: أن اصوم الدهر ولا أفتر: وقال اخر: أنا أعتزل النساء فلا اتزوج أبدا.
فجاء رسول الله ص.م, فقال: ((أنتم الذين قلتم كذا وكذا: أما والله إنى لأخشاكم لله وأتقاكم له, لكني أصوم وأفتر, وأصلى وأرقد, وأتزوج االساء: فمن رغب عن سنتى فليس من))
أخرجه البخارى فى : 67 – كتاب النكاح : 1 – باب الترغيب فى النكاح
 Anas bin Malik Malik r.a berkata: Datang tiga orang ke rumah isteri Nabi SAW. untuk menanyakan ibadah Nabi SAW. Kemudian sesudah diberitahu mereka anggap sedikit, tetapi mereka lalu berkata: Di manakah kami jika dibanding dengan Nabi SAW. yang telah diampuni semua dosanya yang lalu dan yang akan datang. Lalu yang satu berkata: saya akan bangun semalam untuk selamanya. Yang kedua berkata: aku akan puasa selama hidup dan tidak aan berhenti. Ketiga berkata: aku akan menjauhi wanita dan tidak akan kawin untuk selamanya.
Kemudian datang Nabi SAW, bertanya kepada mereka: kalian telah berkata begini, begitu; Ingatlah demi Allah akulah yang lebih takut kepada Allah daripada kalian, dan lebih taqwa kepada Allah, tetapi aku puasa dan berbuka (tidak puasa), shalat malam dan tidur, dan kawin dengan wanita, maka siapa tidak suka kepada sunnah-Ku, bukan dari umatku”. (Bukhari, Muslim)

Penjelasan:
Dari uraian hadits diatas menegaskan akan seorang pemuda diharuskan untuk melangsungkan ajang pernikahan, dikarenakan dunia yang semakin menfitnah takut akan terjerumusnya dalam dunia perzinahan maka sebaiknya melangsungkan pernikahan. Bagi wanita sendiri berfaedah akan menjaga dan memelihara wanita yang sifatnya lemah daripada kebinasaan. Juga biaya hidup sudah menjadi tanggungan suaminya. Akan tetapi awal mula hukum dari pernikahan adalah mubah (boleh), tapi dikarenakan adanya kondisi yang menjadi sebuah sebab, hukumnya pun bisa berubah. Sunnah bagi orang yang berkehendak merasa cukup dalam pembiayaan hidup; wajib orang yang cukup dalam pembiayaan hidup serta takut tergoda dan dikhawatirkan terjerumus dalam kema`siatan; makruh orang yang tidak mampu dalam memberi nafkah; haram bila mempunyai unsur menyakiti dalam pernikahan. Oleh karenanya dianjurkan terlebih-lebih bagi yang sudah siap (mampu fisik dan materi) disegerakan untuk melangsungkan pernikahan. Banyak dari Al-Qur`an dan As-Sunnah sering meyinggung akan pernikahan, hal ini mengibaratkan dalam kehidupan rumah tangga adalah  tujuan terakhir dalam menempuh di alam yang nyata (dunia). Selain itu pula berbagai pelajaran akan kita hadapi di dalamnya.
Sebagaimana hadits kedua yang menerangkan bahwasanya nikah merupakan suatu sunnah dari Rasulullah sebagai penyempurna agama. Mengkaji lebih dalam kenapa ditekankan harus menikah dikarenakan melalui jalur perkawinan yang merupakan suatu asal pokok hidup terutama dalam bermasyarakat. Bukan hanya itu, perkawinan dipandang untuk menuju pergaulan yang satu dengan yang lain serta menjadi jalan penyampai saling tolong menolong antar sesama. Nilai yang terkandung dalam pernikahan yakni menciptakan keluarga yang tentram, damai, sejahtera lahir bathin sebagaimana tercantum dalam firman Allah surat Ar-Ruum : 21. Al-Ghazali juga menegaskan dalam kitab Ihya al-Ulumuddin, menghimbau untuk melakukan pernikahan, senada dengan firman Allah,: “... maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya    (Al-Baqarah : 232). Dengan kata lain jangan larang mereka sekalipun pada anda kekuasaan atas mereka, untuk menikah dengan orang yang menyukai mereka sebagai isteri jika mereka itu kufu` atau bertaqwa (Ihya al-Ulumuddin, 2010 : 132). Dalam hadits yang lain juga menguatkan bahwa nikah adalah merupakan hal yang dianjurkan, seperti:
اذا تزوج العبد فقداستكمل نصف الدين فليتق الله في النصف الباقي[3]
Artinya : “jika seorang hamba menikah, maka telah sempurna separuh agamanya, hendaknya ia bertaqwa kepada Allah berkenaan dengan separuh yang lainnya”.
Pada akhir penjelasan, hanya sekedar menekankan esensi diharuskan sesegera melakukan pernikahan (bila sudah memenuhi syarat), menghindari kekhawatiran terjadinya kerusakan pada mata dan kemaluan. Sering terdengar istilah wija` ialah sebuah ungkapan yang menunjukkan penghancuran kepada kedua buah dzakar (testis) bagi pria, sehingga hilangnya kejantanannya yang kemudian istilah ini dipinjam untuk arti tidak mampu bersetubuh karena puasa. Dan faedah yang dapat diambil setidaknya ada lima: (1) anak, (2) banyak keluarga, (3) pemuasan syahwat, (4) pengelolahan rumah tangga, (5) melakukan nafsu dengan melakukan semua itu (Ihya al-Ulumuddin, 2010).
C.   

َ997- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَةِ

Kriteria Memilih Istri[4]





Artinya: “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia”. (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima)
Islam yang terkenal akan kebebasan, tidak mengandung keterpaksaan, maka dalam hal menikah pun bebas untuk memilih akan calon pasangan yang akan menemani hingga akhir penghujung waktu. Sekalipun demikian, ada beberapa titik penting dalam penentuan calon pendamping, seperti pernikahan antar lawan agama[5] juga siapa-siapa saja yang diharamkan untuk dinikahi (QS An-Nisa : 3).
Hadits diatas menitikberatkan akan kriteria-kriteria apa saja dalam memilih calon istri seperti لمالها (harta), لجمالها (kecantikan), لحسبها (nasab/keturunan) ketiganya Islam memberikan akan selera masing-masing tetapi kalau دينها (agamanya) tak boleh ditawar. Terkadang hadits ini menitikberatkan pada pada laki-laki, akan tetapi tidak menuntut kemungkinan menjadi sebuah pilihan bagi wanita.
Dalam era dunia sekarang banyak yang berlomba-lomba pernikahan demi mengejar harta, cantiq, keturunan/bangsawan (mengharap gelar) dan mengposisikan agama sebagai pelengkap. Tentu hal ini sangatlah membahayakan, merujuk dari hadits nabi[6]:
من نكح المرأة لمالها حرّم الله ما لها وجمالها و من نكها لدينها رز قه الله ما لها و جمالها. (الحديث)
“Barangsiapa yang menikah seorang perempuan karena harta dan rupanya yang manis, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan rupanya. Barangsiapa yang menikah karena agamanya, niscaya Allah memberikan karunia dengan harta dan kecantikannya”.
من تزوّج امرأة لمالها لم يزده إلاّ فقرا 
Barangsiapa menikah dengan kekayaan niscaya Allah tidak akan menambah kekayaan, sebaliknya kemiskinan yang akan di dapati. Dalam riwayat Baihaqi, “janganlah kamu mengawini perempuan itu, karena ingin melihat kecantikan, mungkin kecantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri dan janganlah kamu mengawini mereka dengan mengharap harta mereka mungkin harta mereka akan membawa dalam kesombongan, tetapi kawinlah ia dengan dasar agama dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asal ia beragama”.
Jadi dengan jelas pilihan agama merupakan titik sentral (primer) dalam dasar memilih istri. Kecantikan, kekayaan, keturunan hanyalah sebagai pelengkap (sekunder) dalam jalur memilih. Artinya mendahulukan kriteria agama baru dilanjutkan dengan kriteria tambahan. Sebab dalam membangun sebuah rumah tangga, berbagai cobaan akan dihadapi dalam tali pernikahan. Posisi agama sangatlah berpengaruh dalam membentengi akan cobaan-cobaan dalam pernikahan.
D.    Larangan Nikah Mut`ah[7]
889حديث على بن أبى طالب : أن رسول الله ص.م, نهى متعة النساء يوم خيبر: ثم قرأيأيهاالذين امنوالا تحرموا طيبات ماأحل الله لكم -.
 أخرجه البخارى فى : 65 – كتاب التفسير : 5 – سورة المائدة : باب لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم
Artinya: "Ali bin Abi Thalib r.a berkata: Rasulullah SAW  telah melarang nikah mut`ah (kawin sementara waktu) pada waktu perang khaibar, dan melarang makan daging himar peliharaan". (Bukhari, Muslim)
Nikah mut`ah atau dalam istilah modern kawin kontrak “jenis perkawinan dengan menentukan batas waktu”. Awal mula muncul nikah mut`ah saat perang khaibar nabi melarang akan nikah mut`ah. Sebab akan dilarangnya pernikahan semacam ini karena melanggar akan esensi dari pernikahan yang mengandung unsur kasih sayang dan membangun rumah tangga, sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ruum : 21, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”. Dalam tafsir Ibnu Katsir diuraikan tentang ayat ini, bahwasanya pernikahan menimbulkan suatu rasa kasih sayang, cinta dan senang. Karena itu dalam firman rasa kasih sayang dan sayang bermaksud sebagai sarana keterikatan sarana-sarana tetap terpelihara dan keturunan pun berkesinambungan. Dan demikian itu terdapat bagi orang-orang yang berfikir (Ibnu Katsir, jilid 3 : 759).
Efek samping dari pernikahan ini juga pasti akan menelantarkan para anak-anak (bila ada). Ketidakjelasan dari pernikahan kedua orangtua membuat posisi anak terombang-ambing. Sedangkan diketahui bersama bahwasanya anak merupakan titipan dari sang kuasa, amanah yang harus dipikul dan jika pernikahan ini terjadi tentunya anak akan menjadi sasaran pelampiasan penyiksaan, entah nantinya ia akan ikut ayah atau ibu.
Ditinjau dari asal muasal dari nikah mut`ah ini, menurut sejarah, saat peristiwa peperangan ditempat yang sangat jauh dengan meninggalkan istri dan anak-anak. Saat itu para sahabat mengeluh akan kebutuhan rohani (ibadah biologis), takutnya jika kebutuhan rohani tak terpenuhi semangat perang akan melemah. Para sahabat saat itu meminta pendapat dari Rasulullah sendiri, selanjutnya para sahabat membolehkan untuk memenuhi ibadah biologis dengan bukan istrinya[8]. Akan tetapi setelah selesai semuanya, saat itu langsung di fatwakan oleh Rasulullah akan keharaman berhubungan dengan selain istrinya (kawin kontrak).
Berbeda dengan kaum Rafidhoh Syi`ah, kelompok yang mengagungkan Ali. Mereka menghalalkan akan pernikahan mut`ah, bahkan mereka (syi`ah) pula boleh nikah mut`ah dengan gadis perawan tanpa izin sama walinya, dan masih banyak alasan-alasan dari kaum syiah tentang nikah mut`ah. Prinsip-prinsip dari kaum syi`ah sangatlah bertentangan dengan realitas keadaan Islam. Pandangan kaum syiah yang menghalalkan akan nikah mut`ah, dikarenakan mereka memandang derajat dari wanita masih dalam keadaan jahiliyah. Jadi, dengan seenaknya dari mereka (syi`ah) para kaum laki-laki mempermainkan wanita, terlebih dijadikan pemuas hasrat hawa nafsu, pelampiasaan kekerasan dan lain sebagainya.
Pada simpulannya, pernikahan mut`ah yang dipahami oleh kaum syi`ah sepenuhnya identik dengan kekerasan moral dan memenuhi hasrat sex nya, guna pemenuhan hawa nafsu semata dan sudah barang tentu dari pihak wanita yang merasa dirugikan dan hal ini termasuk dalam bagian kekerasan moral.

SIMPULAN
Pernikahan secara bahasa artinya mengumpul, bermaksud berkumpulnya dua jenis yang haram saat sebelumnya, tapi sejak jalur perkawinan menjadi halal. Perkawinan sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW, terlebih didunia yang penuh dengan fitnah saat ini. Dunia yang sudah dijanjikan oleh Allah bahwasanya akan terjadi kerusakan baik kerusakan moral maupun alam sekitar. Pernikahan sebagai solusi terhindarnya fitnah perzinahan, juga setidaknya menyelamatkan wanita dari sifat kodrat awal yakni lemah dari kebinasaan. Hukum awal dari pernikahan sendiri adalah mubah, tapi bisa berubah sesuai dengan keadaan. Dalam pernikahan sendiri juga dikenal dengan istilah khufu` yakni kesetaraan antara laki-laki dan perempuan demi menjaga kelangsungan jalinan rumah tangga. Kriteria dalam memilih istri yang dianjurkan Rasulullah ada empat, agama, harta, cantiq, dan nasab. Tapi sangat dianjurkan adalah pilihan agama, sedang yang lain sebagai pelengkap saja. Adalah merupakan kesalahan yang besar bila mendahulukan cantiq, harta, nasab, sedang posisi agama dijadikan pilihan terakhir, sebagaimana realita yang terjadi sekarang ini. Rasulullah SAW dengan melalui hadits-hadits nya menggambarkan kerusakan fatal bila posisi agama diabaikan. Dalam Islam juga tidak mengenal adanya nikah mut`ah (kawin sementara), dimana yang dijunjung tinggi dalam pernikahan ini adalah nafsu semata dan terdapat kekerasan moral didalam nikah mut`ah. Sudah tentu pernikahan semacam ini juga sangat dilarang dikarenakan menghilangnya tujuan dari pernikahan tersebut, yakni menjalin hubungan sesama yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

SARAN
Sebagai generasi muda yang pada umum gejolak syahwatnya sangat membara, solusi terbaik bila sudah tak mampu menahannya adalah menikah, asalkan sudah merasa mampu secara biologis ataupun materi. Bilamana masih juga belum mampu, maka solusi terakhir adalah puasa. Demi melangkah dari seorang muslim menjadi seorang mu`min semoga selalu diberi jalan petunjuk oleh sang maha kuasa, terlebih dari kami sendiri.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Sejauh mana kemampuan manusia, tentunya tak terlepas dari sifat awal kita yakni kekhilafan. Oleh karenanya, bilamana dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan baik bahasa ataupun cara penulisan yang kurang berkenan, kami memohon maaf sebesar-besarnya. Pintu kritikan terbuka demi berusaha mencapai kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, waallahu a`lam bi showab

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Jabir al-Jazairi. 2008. Enslikopedia Muslim. Jakarta: Darul Falah.
Anonim. 2009. Larangan Nikah Mut`ah www.alislamu.com. (22 April 2010 pukul 19.00 WIB)   .
Mahmud Mahdi al-Istanbuli, dkk (ed). 2010.  Ihya al-Ulumuddin. Bekasi:  Darul Falah.
Muhammad Nasib ar-Rifa`i. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press.
M. Najamuddin Zuhdi, dkk. 2009. Studi Islam 2. Surakarta: LPID UMS.
Salim Bahreisy. 2006. Al-lu`lu wal Marjan: Himpunan Hadits Shahih Bukhari Muslim. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Sulaiman Rasyid. 1954. Fiqhi Islam. Jakarta: Attahirah.




[1] Kitab al-lu`lu wal marjan : 884.
[2] Kitab al-lu`lu wal Marjan : 885.
[3] Diriwayatkan Abu Ya`la di dalam musnadnya dengan bagian yang didahulukan dan diakhirkan dari hadits Ibnu Abbas dengan sanad hasan, karena banyak jalurnya.
[4] Kitab Bulughul Maram : 997, pustaka al-hidayah@yahoo.co.id.
[5] Lebih jelas lihat penafsiran surat An-nisa : 5, Al-Baqarah : 21. Hal ini peruntukkan laki-laki muslim menikahi wanita non muslim. Tapi wanita muslimah diharamkan menikahi dengan laki-laki non-muslim.
[6] Fiqhi Islam, oleh Sulaiman Rasyid, 357-358.
[7] Kitab al-lu`lu wal marjan: 889.
[8] Disini ada dua pendapat, Rasulullah menjawabnya dengan cara taqrir (diam) dan dengan qauliyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar